Search For Islam

Minggu, 31 Agustus 2008

Surat Yunus Ayat 99-100

Oleh : Ahmad Syafii Maarif
Arti selengkapnya dari surat Yunus ayat 99 ini adalah: "Dan sekiranya
Tuhanmu menghendaki, tentu berimanlah semua manusia yang ada di muka bumi.
Lantaran itu, patutkah engkau memaksa manusia agar mereka beriman
seluruhnya?" Ayat 100 berikutnya: "Dan tidaklah seseorang akan beriman,
melainkan dengan izin Allah." Artinya, untuk beriman perlu lampu hijau dari
Allah, menurut ayat ini. Tanpa perkenan dari Yang Maha Pemberi Izin, iman
itu tidak akan terjadi. Sebab itu, menurut surat Makkiyyah ini, setiap
paksaan untuk beriman, halus apalagi kasar, sepenuhnya melanggar ketentuan
Allah.


Adapun menyampaikan dakwah agar manusia mau beriman, jelas merupakan
kewajiban agama. Tetapi dalam proses dakwah itu, unsur paksaan dilarang
keras. Sebenarnya jika mau jujur, di antara metode dakwah yang paling
efektif ialah dakwah dengan contoh perbuatan. Tidak usah jauh-jauh mencari
contoh. Di sebuah RT, misalnya, ada dua keluarga Muslim yang jadi buah
bibir masyarakat sekitarnya dalam arti positif, padahal lingkungannya
mayoritas non-Muslim. Orangnya ramah, sopan, suka memberi siapa saja, tidak
terikat dengan agama yang dipeluknya. Penampilannya tidak dibuat-buat,
lumrah, semuanya autentik sebagai tanda percaya diri yang tinggi. Jika ada
kematian di RT itu, keluarga Muslim itu cepat turun tangan untuk
mengulurkan bantuan apa yang mungkin. Dunia fitnah dijauhinya. Menghukum
mereka yang seagama tetapi tidak sepaham dalam penafsiran, pantangan
baginya. Kenisbian manusia untuk menangkap yang mutlak adalah pegangan
utamanya dalam beragama. Seluruh warga RT itu merasa akan sangat kehilangan
jika dua keluarga Muslim itu pindah ke tempat lain. Di mana-mana akan
terdengar ucapan: "Aduh, mengapa si anu itu pindah dari lingkungan kita,
padahal kita sangat memerlukannya agar tetap bersama kita di sini,
sekalipun kita berlainan agama."


Contoh yang saya berikan ini bukanlah sesuatu yang asing, semuanya empirik,
dapat dilakukan siapa saja, apa pun agama yang dipeluknya. Jika kemudian
ada yang tertarik untuk mengikuti agama dua keluarga Muslim itu secara
sadar, tanpa ada tanda-tanda paksaan, maka boleh jadi izin Allah untuk
beriman itu memang sedang berlaku. Teladan yang ditunjukkan dua keluarga
Muslim itu semata-mata sarana bagi keluarnya izin itu. Tidak lebih dari
itu.


Saya punya pengalaman khas tentang hal yang mirip, saat saya kuliah dengan
Fazlur Rahman di Universitas Chicago. Mahasiswa yang ikut kuliahnya berasal
dari bermacam agama: Katolik, Protestan, Shinto, Yahudi, dan Muslim. Dengan
kepercayaan diri yang sangat kuat, Rahman dalam seluruh kuliahnya tidak ada
bayangan agar mahasiswanya menjadi Muslim. Mungkin Rahman berpendapat,
daripada menambah pengikut, lebih baik jumlah Muslim sedunia di atas satu
miliar itu ditingkatkan kualitasnya.


Tetapi, apa yang terjadi? Beberapa mahasiswanya yang non-Muslim saya dengar
belakangan telah menjadi Muslim atau Muslimah, sesuatu yang tidak diniatkan
Rahman sewaktu memberi kuliah. Metode perkuliahan yang mendalam, objektif,
tanpa basa-basi, rupanya telah bersarang secara diam-diam dalam otak dan
hati para mahasiswanya. Maka, terjadilah apa yang terjadi. Izin Allah
rupanya berlaku melalui cara-cara yang tak disengaja itu. Tentu saja ruh
Rahman di alam baka tersenyum menyaksikan apa yang terjadi pada sejumlah
mantan mahasiswanya, sebagian adalah teman-teman sekelas saya. Sebab itu,
Anda janganlah terlalu bernafsu untuk 'menaklukkan' dunia agar beriman
seperti Anda. Biarlah proses itu berjalan secara wajar. Bukankah kualitas
itu jauh lebih penting dari kuantitas, jika kuantitas itu tidak lebih dari
beban sejarah?


Dua contoh, RT dan Rahman, mungkin dapat dijadikan bahan renungan: satu
untuk akar rumput, yang lain untuk tingkat yang lebih tinggi. Tetapi ingat,
Rahman pernah dihalalkan darahnya di Pakistan, tanah airnya, oleh mereka
yang wawasan keagamaan dan kemanusiaannya hanyalah sebatas tuturan atapnya,
atau paling jauh sebatas halaman rumahnya. Kata pepatah: "Jika kail panjang
sejengkal, janganlah laut hendak diduga!" Mari kita sama-sama belajar dari
sumber yang beragam untuk saling bertukar pendapat dengan cara yang santun,
jujur, dan mendalam. Musuh terbesar kita adalah kedangkalan dan sifat
memonopoli kebenaran.

Tidak ada komentar: