Search For Islam

Kamis, 18 September 2008

Sandal Jepit Istriku

Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel
yang memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam keadaan
lapar memuncak seperti ini, makanan yang tersedia tak ada yang
memuaskan lidah. Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang, sedang
perkedelnya asin tak ketulungan.

"Ummi... Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar? Selalu saja, kalau
tak keasinan, kemanisan, kalau tak keaseman, ya kepedesan!" Ya, aku tak
bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.
"Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan
Khodijah. Katanya mau kayak Rasul? ucap isteriku kalem.
"Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti
Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini!" Jawabku
masih dengan nada tinggi.
Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku
menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air
matanya merebak.
***
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh
dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan baiti jannati di rumahku.
Namun apa yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang
kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling.
Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah.
Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana
sini. Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian, wouw!
berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena
berhari-hari direndam dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat
keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.

"Ummi... Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau keadaan
terus menerus begini?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ummi... isteri sholihah itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia
juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga.
Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah?"

Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis
isteriku yang kelihatan begitu pilu. "Ah... wanita gampang sekali
untuk menangis," batinku. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya
mau jadi isteri shalihah? Isteri shalihah itu tidak cengeng,"
bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai.

"Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah
ini berantakan karena memang Ummi tak bisa mengerjakan
apa-apa. Jangankan untuk kerja, jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah
terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap isteriku
diselingi isak tangis. "Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang
yang hamil muda..." Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat
tetap merebak.

Hamil muda?!?!
***
Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku.
"Aduh, Mi... Abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?"
ucapku.
"Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak
pingsan di jalan," jawab isteriku.

"Lho, kok bilang gitu...?" selaku.
"Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing
kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam
suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,"
ucap isteriku lagi.

"Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.
Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang
ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba
saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku
mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini
pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan
pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya
begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk
sepatu pun lucu-lucu," aku membathin.
Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang
diapit sepasang sepatu indah.

Dug! Hati ini menjadi luruh.
"Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu
segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes!
Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa
baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan
isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal.
Sementara teman-temannnya bersepatu bagus.

"Maafkan aku Maryam," pinta hatiku.
"Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak,
lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan
melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan
cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit
setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang
lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah
delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar.

Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berkebaya gelap dan
berjilbab hitam melintas. "Ini dia mujahidahku! " pekik hatiku. Ia beda
dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju
berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh
pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa
karena selama ini kurang memperhatikan isteri.

Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah
membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk
memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu
begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu
pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang
lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata:
"Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya."

Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para
suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku terlalu sering
ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat
melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terzalim!

"Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh
itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidak
percayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat
perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia.

"Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku
segirang ini.
"Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.
***
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu,
senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya.
"Alhamdulillah, jazakallahu. ..,"ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam,
lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu
hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud
dan 'iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya
menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku?

Tidak ada komentar: