Search For Islam

Kamis, 18 September 2008

Korban Kisruh Antri Zakat Pasuruan

Astagfirullahaladzim L


Demi Allah, tak pantas kita hidup bermewah-mewahan… tak pantas kita hidup
berlebih-lebihan… dan tak pantas kita hidup dengan pemborosan…


Artikel ini mengingatkan, betapa diluar sana masih banyak orang2 yang
sebenarnya lebih pantas untuk memiliki sebagian harta kita L


Mudah-mudahan sama-sama bisa diambil ibroh-nya...


Benar-benar memprihatinkan... L








Inna lillahi wa'inna ilaihi rojiun……





Kompas, Selasa, 16 September 2008 | 01:55 WIB





Mereka Meninggal Demi Rp30 Ribu!





(Embedded image moved to file: pic23811.jpg) more picture below…





KOMPAS/RADITYA HELABUMI


Jenazah usai diotopsi di RSUD dr Soedarsono, Pasuruan.


/


Demi uang sebesar Rp30.000, ribuan orang di di Jl Wahidin Pasuruan rela
berdesak-desakkan dan mengakibatkan 21 orang tewas.


Peristiwa tragis itu terjadi saat pembagian zakat yang dimulai pada pukul
10.00 WIB. Ribuan warga miskin yang datang dari berbagai pelosok desa di
sekitar Kota dan Kabupaten Pasuruan itu berebut saling berdesakan guna
mendapatkan zakat dengan nilai nominal Rp30.000 per orang yang
dilangsungkan oleh keluarga dermawan H Syaichon di Jalan Dr Wahidin
Sudirohusodo, Kota Pasuruan.


Keluarga Syaichon yang mengatur para penerima zakat masuk satu per satu ke
dalam halaman rumahnya, akhirnya membuat ribuan orang yang terkonsentrasi
di sebuah gang tak bisa bergerak, bahkan orang yang pingsan pun tidak bisa
keluar. Puncaknya adalah: 21 orang tewas!


Makin jelas bagi kita, seperti apa rupa kemiskinan yang terjadi di negeri
ini. Jelas bukan seperti yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang
mengklaim angka kemiskinan di Indonesia telah mengalami penurunan sebesar
10 juta jiwa selama pemerintah Indonesia dipimpin Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Jika sebelumnya angka kemiskinan mencapai 40 juta jiwa, saat ini
jumlah penduduk miskin di Tanah Air diperkirakan berjumlah 30 juta jiwa.


Kemiskinan tak lagi menjadi mimpi buruk. Ia telah benar-benar menjelma
menjadi barisan manusia-manusia tak berdaya yang hadir di mana pun ada
remah-remah rezeki, termasuk di rumah keluarga H Syaichon.


Ya, mereka adalah para fakir miskin yang berniat menerima zakat. Sekali
lagi zakat, sebuah terminologi yang di dalamnya mengandung kemulyaan hidup
berupa kasih sayang terhadap sesama lewat tindakan berbagi.


Zakat adalah rukun ketiga dari rukun Islam. Secara harfiah zakat berarti
"tumbuh", "berkembang", "menyucikan", atau "membersihkan". Sedangkan secara
terminologi syari'ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian
kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu
sebagaimana ditentukan.


Si pemberi zakat jelas orang mampu secara material. Orang yang memiliki
niat dan tindakan luhur untuk berbagi dengan sesama dan berharap pahala
dari Allah. Adapun si penerima zakat di antaranya adalah mereka yang Fakir,
yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
pokok hidup. Mereka yang Miskin, yang memiliki harta namun tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.


Secara teoritis, kemiskinan bisa dipahami sebagai gambaran kekurangan
materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang,
perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami
sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.


Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat.
Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya
dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik
dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.


Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna
"memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan
ekonomi di seluruh dunia.


Entah gambaran seperti apa yang tepat untuk melukiskan kemiskinan yang
sedang melanda masyarakat kita. Gambaran-gambaran di atas boleh jadi telah
cukup akurat, tapi melihat fakta yang ada, mungkin kata nekat perlu pula
ditambahkan, termasuk nekat untuk mati demi tiga lembar sepuluh ribuan.


Saya percaya, sebagian besar yang datang ke rumah keluarga H Syaichon
adalah orang-orang yang berniat mulia, berniat mencari sedekah untuk
menyambung hidup, menyenangkan orang rumah untuk beli makanan atau membeli
pakaian bekas.


Saya juga percaya, Pak Syaichon tulus membagikan sebagian kekayaannya untuk
para fakir miskin. Yang jadi soal, kenapakah ia membagi sendiri zakatnya
itu kepada ribuan orang.


Mungkin benar pendapat Pengamat sosial, Prof DR M Ali Haidar MA, yang
menilai musibah yang mengenaskan itu menunjukkan ketidakpercayaan orang
yang berzakat kepada institusi yang menangani zakat.

"Ketidakpercayaan itu mendorong orang yang berzakat langsung membagikan
sendiri zakatnya," kata guru besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu.


Maklumlah, salah satu "penyakit gawat" yang terus mewabah pada bangsa ini
adalah hilangnya kepercayaan orang per orang dan kepercayaan orang terhadap
institusi, termasuk institusi negara.


Orang belajar pada pengalaman, itulah jawabnya. Pada hari-hari yang kita
lewati, kian susah kita menemukan tauladan luhur dari para pemimpin bangsa
ini. Yang kita dapati adalah contoh buruk bagaimana para tokoh yang
mewakili kita justru bertindak deksura. Bagaimana para pemimpin yang
mengatur kehidupan bernegara kita hidup berfoya-foya. Dan, mereka yang kita
percaya sebagai imam hidup kita justru membawa kehidupan makin suram.


Menyakitkan memang. Apalagi ini terjadi saat umat Islam sedang menjalani
ibadah puasa. Apalagi ini terjadi di kala para tokoh sedang riuh rendah
menawarkan janji-janji manis dalam rangka menghadapi pemilu 2009. Apalagi
ini terjadi di bumi gemah ripah... loh kok begini. Hmmm, saya benar-benar
tak mampu meneruskan ujar-ujar Jawa yang hebat mengenai negeri kita yang
makmur jibar-jibur itu. Terlalu getir buat saya mendapati fakta
sauadara-saudara kita tewas hanya untuk uang setara dengan harga tiga
bungkus rokok.


(Embedded image moved to file: pic31322.jpg)








(Embedded image moved to file: pic30333.jpg)














(Embedded image moved to file: pic17673.jpg)








(Embedded image moved to file: pic04664.jpg)








(Embedded image moved to file: pic15141.jpg)








(Embedded image moved to file: pic07711.jpg)


(Embedded image moved to file: pic28253.jpg)


(Embedded image moved to file: pic06868.jpg)











(Embedded image moved to file: pic25547.gif)











(Embedded image moved to file: pic27644.jpg)








(Embedded image moved to file: pic32662.jpg)








(Embedded image moved to file: pic32757.jpg)











(Embedded image moved to file: pic20037.jpg)














(Embedded image moved to file: pic12859.jpg)











(Embedded image moved to file: pic08723.jpg)





(Embedded image moved to file: pic09741.jpg)








(Embedded image moved to file: pic27529.jpg)





KOMPAS/RADITYA HELABUMI


Apa yang hendak kita katakan pada peristiwa yang menewaskan 21 perempuan
dhuafa dalam pembagian zakat di Pasuruan baru-baru ini?

Insya Allah, mereka, para perempuan itu, akan masuk surga. Mereka yang
menyalakan tungku pemasak makanan buat keluarga. Di saat harga-harga
kebutuhan pokok semakin meningkat, di saat penghasilan keluarga terasa
tidak memadai, di saat harga bahan bakar semakin terasa menyesakkan, tungku
itu tetap harus menyala. Tetap harus ada yang dimasak di dalam tungku itu
buat keluarga. Salahkah mereka bila rela menyabung hidup buat menjemput
haknya yang tidak seberapa?

Insya Allah, mereka akan tetap masuk surga karena tidak tahu dan tak pernah
ada yang memberi tahu bahwa langkahnya keliru. Hak mereka, yang tersimpan
dalam kekayaan tetangganya, memang harus dijemput. Tetapi, semestinya,
bukan mereka sendiri yang menjemput bagian dari hak itu. Dhuafa juga
manusia. Tak hanya punya rasa dan punya hati, tapi juga punya martabat yang
harus dijaga. Martabat yang tak boleh direndahkan meskipun hanya meletakkan
tangan di bawah. Apalagi, di dalam Islam, tangan di bawah bukan sekadar
persoalan 'hanya'. Tangan di bawah adalah hal hina yang sedapat mungkin
dihindari.

Itu yang menjelaskan mengapa Nabi Muhammad SAW segera bertindak saat
seorang pemuda datang minta uluran tangan. Nabi tak membiarkan ada umatnya
menengadahkan tangan. Satu-satunya barang milik pemuda itu dilelang agar
bisa membeli kapak jelek yang diperbaiki sendiri oleh tangan Nabi. Kapak
yang akhirnya menyelamatkan sang pemuda dari kehinaan menempatkan tangannya
di bawah. Nabi juga mengingatkan bahwa yang termasuk manusia termulia
adalah orang-orang susah yang tak mempertontonkan kesusahannya. Kemuliaan
serupa tentu dimiliki orang-orang berada yang tak gampang mempertontonkan
keberadaannya, meskipun melalui jalan kebaikan seperti atas nama membagikan
zakat.

Maka, 'kebaikan-kebaikan' itu pun menelan korban. Tahun silam, sebuah pagar
roboh menewaskan sejumlah orang saat para dhuafa berdesakan 'mengambil'
zakat di Pasar Minggu, Jakarta. Kabar itu tersebar ke seluruh negeri ini
dan menjadi keprihatinan bersama. Tapi, sekarang, peristiwa serupa pun
terulang di Pasuruan.

Ternyata, di antara kita sangat banyak tokoh yang kaya, yang peduli pada
sesama, dan tampak menguasai ilmu agama, namun merasa lega jika melihat
para dhuafa berbondong datang ke rumahnya untuk mengambil sedikit rezeki
darinya. Berapa banyak lagi peristiwa serupa yang akan terjadi di masa
mendatang.

Sikap itu begitu berbeda dengan yang ditunjukkan Khalifah Umar.
Malam-malam, ia datangi diam-diam rumah para warga yang kesusahan. Ia
kirimkan langsung apa yang menjadi hak para dhuafa. Ia jaga martabat mereka
hingga tak perlu menghinakan diri menjadikan tangannya di bawah. Para
dhuafa pun menjaga martabatnya kuat. Misalnya, seorang janda yang hanya
bisa merebus batu untuk menenangkan anaknya yang merintih lapar. Sang janda
itu tak menengadahkan tangan, meskipun keadaannya jauh lebih sulit
dibanding rata-rata dhuafa sekarang. Ia jaga tegak martabat dirinya sebagai
manusia merdeka.

Sekarang, memang masa yang jauh dari Rasulullah dan sahabat. Agamanya
memang tetap sama: Islam. Pilar-pilarnya juga tetap sama, seperti
terumuskan dalam 'rukun-rukunya'. Tetapi, nilai-nilai pemaknaannya telah
menjadi sangat berbeda dibanding semula. Esensi keberagaman untuk
menjunjung tinggi martabat dan kemerdekaan manusia melalui Tauhid tak
banyak lagi dipahami. Tragedi kematian 21 dhuafa ini hanya sebuah dari
banyaknya bukti bahwa secara umum keberagamaan telah kehilangan esensi. Itu
yang menjelaskan mengapa umat ini gagal menjadi 'sebaik-baik umat'.





Oleh: Zaim Uchrowi

Tidak ada komentar: