Search For Islam

Senin, 22 September 2008

Bocah Misterius

--------------------------------------------------------------------------


"Bocah Misterius"





Bocah itu menjadi pembicaraan dikampung Ketapang. Sudah tiga hari ini ia
mondar-mandir keliling kampung.


Ia menggoda anak-anak sebayanya, menggoda anak-anak remaja diatasnya, dan
bahkan orang-orang tua. Hal ini bagi orang kampung sungguh menyebalkan.


Yah, bagaimana tidak menyebalkan, anak itu menggoda dengan berjalan kesana
kemari sambil tangan kanannya memegang roti isi daging yang tampak coklat
menyala.


Sementara tangan kirinya memegang es kelapa, lengkap dengan tetesan air dan
butiran-butiran es yang melekat diplastik es tersebut.


Pemandangan tersebut menjadi hal biasa bila orang-orang kampung melihatnya
bukan pada bulan puasa!


Tapi ini justru terjadi ditengah hari pada bulan puasa! Bulan ketika banyak
orang sedang menahan lapar dan haus. Es kelapa dan roti isi daging tentu
saja menggoda orang yang melihatnya.


Pemandangan itu semakin bertambah tidak biasa, karena kebetulan selama tiga
hari semenjak bocah itu ada, matahari dikampung itu lebih terik dari
biasanya.


Luqman mendapat laporan dari orang-orang kampong mengenai bocah itu. Mereka
tidak berani melarang bocah kecil itu menyodor-nyodorkan dan memperagakan
bagaimana dengan nikmatnya ia mencicipi es kelapa dan roti isi daging
tersebut.


Pernah ada yang melarangnya, tapi orang itu kemudian dibuat mundur
ketakutan sekaligus keheranan.


Setiap dilarang, bocah itu akan mendengus dan matanya akan memberikan
kilatan yang menyeramkan. Membuat mundur semua orang yang akan melarangnya.


Luqman memutuskan akan menunggu kehadiran bocah itu. Kata orang kampung,
belakangan ini, setiap bakda zuhur, anak itu akan muncul secara misterius.


Bocah itu akan muncul dengan pakaian lusuh yang sama dengan hari-hari
kemarin dan akan muncul pula dengan es kelapa dan roti isi daging yang sama
juga!


Tidak lama Luqman menunggu, bocah itu datang lagi. Benar, ia menari-nari
dengan menyeruput es kelapa itu. Tingkah bocah itu jelas membuat orang lain
menelan ludah, tanda ingin meminum es itu juga.


Luqman pun lalu menegurnya.. Cuma,ya itu tadi,bukannya takut, bocah itu
malah mendelik hebat dan melotot, seakan-akan matanya akan keluar.


"Bismillah.. ." ucap Luqman dengan kembali mencengkeram lengan bocah itu.
Ia kuatkan mentalnya. Ia berpikir,kalau memang bocah itu bocah jadi-jadian,
ia akan korek keterangan apa maksud semua ini.


Kalau memang bocah itu "bocah beneran" pun, ia juga akan cari keterangan,
siapa dan dari mana sesungguhnya bocah itu.


Mendengar ucapan bismillah itu, bocah tadi mendadak menuruti tarikan tangan
Luqman. Luqman pun menyentak tanggannya, menyeret dengan halus bocah itu,
dan membawanya ke rumah.


Gerakan Luqman diikuti dengan tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang
yang melihatnya.


"Ada apa Tuan melarang saya meminum es kelapa dan menyantap roti isi daging
ini? Bukankah ini kepunyaan saya?" tanya bocah itu sesampainya di rumah
Luqman, seakan-akan tahu bahwa Luqman akan bertanya tentang kelakuannya.


Matanya masih lekat menatap tajam pada Luqman.


"Maaf ya, itu karena kamu melakukannya dibulan puasa," jawab Luqman dengan
halus,"apalagi kamu tahu, bukankah seharusnya kamu juga berpuasa? Kamu
bukannya ikut menahan lapar dan haus, tapi malah menggoda orang dengan
tingkahmu itu.."


Sebenarnya Luqman masih akan mengeluarkan uneg-unegnya, mengomeli anak itu.
Tapi mendadak bocah itu berdiri sebelum Luqman selesai. Ia menatap Luqman
lebih tajam lagi.


"Itu kan yang kalian lakukan juga kepada kami semua! Bukankah kalian yang
lebih sering melakukan hal ini ketimbang saya..?! Kalian selalu
mempertontonkan kemewahan ketika kami hidup dibawah garis kemiskinan pada
sebelas bulan diluar bulan puasa?


Bukankah kalian yang lebih sering melupakan kami yang kelaparan, dengan
menimbun harta sebanyak-banyaknya dan melupakan kami? Bukankah kalian juga
yang selalu tertawa dan melupakan kami yang sedang menangis?


Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila sedikit saja sakit
menyerang, sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan hingga
kematian menjemput ajal..?!


Bukankah juga di bulan puasa ini hanya pergeseran waktu saja bagi kalian
untuk menahan lapar dan haus?


Ketika bedug maghrib bertalu, ketika azan maghrib terdengar, kalian kembali
pada kerakusan kalian…!?"


Bocah itu terus saja berbicara tanpa memberi kesempatan pada Luqman untuk
menyela.


Tiba-tiba suara bocah itu berubah. Kalau tadinya ia berkata begitu tegas
dan terdengar "sangat" menusuk, kini ia bersuara lirih, mengiba.


"Ketahuilah Tuan.., kami ini berpuasa tanpa ujung, kami senantiasa berpuasa
meski bukan waktunya bulan puasa, lantaran memang tak ada makanan yang bisa
kami makan. Sementara Tuan hanya berpuasa sepanjang siang saja.


Dan ketahuilah juga, justru Tuan dan orang-orang di sekeliling Tuan lah
yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luar biasa mewahnya,
lalu kalian sebut itu menyambut Ramadhan dan 'Idul Fithri?


Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan dalam mempersiapkan makanan
yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa ada, lantas kalian
menyebutnya dengan istilah menyambut Ramadhan dan 'Idul Fithri?


Tuan.., sebelas bulan kalian semua tertawa di saat kami menangis, bahkan
pada bulan Ramadhan pun hanya ada kepedulian yang seadanya pula.


Tuan.., kalianlah yang melupakan kami, kalianlah yang menggoda kami, dua
belas bulan tanpa terkecuali termasuk di bulan ramadhan ini. Apa yang telah
saya lakukan adalah yang kalian lakukan juga terhadap orang-orang kecil
seperti kami…!


Tuan.., sadarkah Tuan akan ketidak abadian harta? Lalu kenapakah kalian
masih saja mendekap harta secara berlebih?


Tuan.., sadarkah apa yang terjadi bila Tuan dan orang-orang sekeliling Tuan
tertawa sepanjang masa dan melupakan kami yang semestinya diingat?


Bahkan, berlebihannya Tuan dan orang-orang di sekeliling Tuan bukan hanya
pada penggunaan harta, tapi juga pada dosa dan maksiat.. Tahukah Tuan akan
adanya azab Tuhan yang akan menimpa?


Tuan.., jangan merasa aman lantaran kaki masih menginjak bumi. Tuan…,
jangan merasa perut kan tetap kenyang lantaran masih tersimpan pangan 'tuk


setahun, jangan pernah merasa matahari tidak akan pernah menyatu dengan
bumi kelak…."


Wuahh…, entahlah apa yang ada di kepala dan hati Luqman. Kalimat demi
kalimat meluncur deras dari mulut bocah kecil itu tanpa bisa dihentikan.


Dan hebatnya, semua yang disampaikan bocah tersebut adalah benar adanya!


Hal ini menambah keyakinan Luqman, bahwa bocah ini bukanlah bocah
sembarangan.


Setelah berkata pedas dan tajam seperti itu, bocah itu pergi begitu saja
meninggalkan Luqman yang dibuatnya terbengong-bengong.


Di kejauhan, Luqman melihat bocah itu menghilang bak ditelan bumi.


Begitu sadar, Luqman berlari mengejar ke luar rumah hingga ke tepian jalan
raya kampung Ketapang. Ia edarkan pandangan ke seluruh sudut yang bisa
dilihatnya, tapi ia tidak menemukan bocah itu.


Di tengah deru nafasnya yang memburu, ia tanya semua orang di ujung jalan,
tapi semuanya menggeleng bingung. Bahkan, orang-orang yang menunggu
penasaran didepan rumahnya pun mengaku tidak melihat bocah itu keluar dari
rumah Luqman!


Bocah itu benar-benar misterius! Dan sekarang ia malah menghilang! Luqman
tidak mau main-main.


Segera ia putar langkah, balik ke rumah. Ia ambil sajadah, sujud dan
bersyukur. Meski peristiwa tadi irrasional, tidak masuk akal, tapi ia mau
meyakini bagian yang masuk akal saja. Bahwa memang betul adanya apa yang
dikatakan bocah misterius tadi.


Bocah tadi memberikan pelajaran yang berharga, betapa kita sering melupakan
orang yang seharusnya kita ingat.. Yaitu mereka yang tidak berpakaian,
mereka yang kelaparan, dan mereka yang tidak memiliki penghidupan yang
layak.


Bocah tadi juga memberikan Luqman pelajaran bahwa seharusnya mereka yang
sedang berada diatas, yang sedang mendapatkan karunia Allah, jangan
sekali-kali menggoda orang kecil, orang bawah, dengan berjalan membusungkan
dada dan mempertontonkan kemewahan yang berlebihan.


Marilah berpikir tentang dampak sosial yang akan terjadi bila kita terus
menjejali tontonan kemewahan, sementara yang melihatnya sedang membungkuk
menahan lapar.


Luqman berterima kasih kepada Allah yang telah memberikannya hikmah yang
luar biasa. Luqman tidak mau menjadi bagian yang Allah sebut mati mata
hatinya.


Sekarang yang ada dipikirannya sekarang , entah mau dipercaya orang atau
tidak, ia akan mengabarkan kejadian yang dialaminya bersama bocah itu
sekaligus menjelaskan hikmah kehadiran bocah tadi kepada semua orang yang
dikenalnya, kepada sebanyak-banyaknya orang.


Kejadian bersama bocah tadi begitu berharga bagi siapa saja yang
menghendaki bercahayanya hati.


Pertemuan itu menjadi pertemuan yang terakhir. Sejak itu Luqman tidak
pernah lagi melihatnya, selama-lamanya. Luqman rindu kalimat-kalimat pedas
dan tudingan-tudingan yang memang betul adanya.


Luqman rindu akan kehadiran anak itu agar ada seseorang yang berani
menunjuk hidungnya ketika ia salah.


Selamat menjalankan ibadah puasa…..


Thanks
Buldani
Mis Depart
email:buldani@volex.com

Kamis, 18 September 2008

Sandal Jepit Istriku

Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel
yang memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam keadaan
lapar memuncak seperti ini, makanan yang tersedia tak ada yang
memuaskan lidah. Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang, sedang
perkedelnya asin tak ketulungan.

"Ummi... Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar? Selalu saja, kalau
tak keasinan, kemanisan, kalau tak keaseman, ya kepedesan!" Ya, aku tak
bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.
"Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan
Khodijah. Katanya mau kayak Rasul? ucap isteriku kalem.
"Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti
Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini!" Jawabku
masih dengan nada tinggi.
Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku
menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air
matanya merebak.
***
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh
dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan baiti jannati di rumahku.
Namun apa yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang
kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling.
Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah.
Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana
sini. Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian, wouw!
berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena
berhari-hari direndam dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat
keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.

"Ummi... Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau keadaan
terus menerus begini?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ummi... isteri sholihah itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia
juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga.
Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah?"

Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis
isteriku yang kelihatan begitu pilu. "Ah... wanita gampang sekali
untuk menangis," batinku. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya
mau jadi isteri shalihah? Isteri shalihah itu tidak cengeng,"
bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai.

"Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah
ini berantakan karena memang Ummi tak bisa mengerjakan
apa-apa. Jangankan untuk kerja, jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah
terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap isteriku
diselingi isak tangis. "Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang
yang hamil muda..." Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat
tetap merebak.

Hamil muda?!?!
***
Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku.
"Aduh, Mi... Abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?"
ucapku.
"Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak
pingsan di jalan," jawab isteriku.

"Lho, kok bilang gitu...?" selaku.
"Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing
kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam
suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,"
ucap isteriku lagi.

"Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.
Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang
ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba
saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku
mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini
pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan
pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya
begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk
sepatu pun lucu-lucu," aku membathin.
Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang
diapit sepasang sepatu indah.

Dug! Hati ini menjadi luruh.
"Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu
segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes!
Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa
baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan
isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal.
Sementara teman-temannnya bersepatu bagus.

"Maafkan aku Maryam," pinta hatiku.
"Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak,
lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan
melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan
cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit
setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang
lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah
delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar.

Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berkebaya gelap dan
berjilbab hitam melintas. "Ini dia mujahidahku! " pekik hatiku. Ia beda
dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju
berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh
pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa
karena selama ini kurang memperhatikan isteri.

Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah
membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk
memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu
begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu
pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang
lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata:
"Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya."

Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para
suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku terlalu sering
ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat
melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terzalim!

"Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh
itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidak
percayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat
perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia.

"Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku
segirang ini.
"Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.
***
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu,
senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya.
"Alhamdulillah, jazakallahu. ..,"ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam,
lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu
hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud
dan 'iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya
menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku?

Korban Kisruh Antri Zakat Pasuruan

Astagfirullahaladzim L


Demi Allah, tak pantas kita hidup bermewah-mewahan… tak pantas kita hidup
berlebih-lebihan… dan tak pantas kita hidup dengan pemborosan…


Artikel ini mengingatkan, betapa diluar sana masih banyak orang2 yang
sebenarnya lebih pantas untuk memiliki sebagian harta kita L


Mudah-mudahan sama-sama bisa diambil ibroh-nya...


Benar-benar memprihatinkan... L








Inna lillahi wa'inna ilaihi rojiun……





Kompas, Selasa, 16 September 2008 | 01:55 WIB





Mereka Meninggal Demi Rp30 Ribu!





(Embedded image moved to file: pic23811.jpg) more picture below…





KOMPAS/RADITYA HELABUMI


Jenazah usai diotopsi di RSUD dr Soedarsono, Pasuruan.


/


Demi uang sebesar Rp30.000, ribuan orang di di Jl Wahidin Pasuruan rela
berdesak-desakkan dan mengakibatkan 21 orang tewas.


Peristiwa tragis itu terjadi saat pembagian zakat yang dimulai pada pukul
10.00 WIB. Ribuan warga miskin yang datang dari berbagai pelosok desa di
sekitar Kota dan Kabupaten Pasuruan itu berebut saling berdesakan guna
mendapatkan zakat dengan nilai nominal Rp30.000 per orang yang
dilangsungkan oleh keluarga dermawan H Syaichon di Jalan Dr Wahidin
Sudirohusodo, Kota Pasuruan.


Keluarga Syaichon yang mengatur para penerima zakat masuk satu per satu ke
dalam halaman rumahnya, akhirnya membuat ribuan orang yang terkonsentrasi
di sebuah gang tak bisa bergerak, bahkan orang yang pingsan pun tidak bisa
keluar. Puncaknya adalah: 21 orang tewas!


Makin jelas bagi kita, seperti apa rupa kemiskinan yang terjadi di negeri
ini. Jelas bukan seperti yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang
mengklaim angka kemiskinan di Indonesia telah mengalami penurunan sebesar
10 juta jiwa selama pemerintah Indonesia dipimpin Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono. Jika sebelumnya angka kemiskinan mencapai 40 juta jiwa, saat ini
jumlah penduduk miskin di Tanah Air diperkirakan berjumlah 30 juta jiwa.


Kemiskinan tak lagi menjadi mimpi buruk. Ia telah benar-benar menjelma
menjadi barisan manusia-manusia tak berdaya yang hadir di mana pun ada
remah-remah rezeki, termasuk di rumah keluarga H Syaichon.


Ya, mereka adalah para fakir miskin yang berniat menerima zakat. Sekali
lagi zakat, sebuah terminologi yang di dalamnya mengandung kemulyaan hidup
berupa kasih sayang terhadap sesama lewat tindakan berbagi.


Zakat adalah rukun ketiga dari rukun Islam. Secara harfiah zakat berarti
"tumbuh", "berkembang", "menyucikan", atau "membersihkan". Sedangkan secara
terminologi syari'ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian
kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu
sebagaimana ditentukan.


Si pemberi zakat jelas orang mampu secara material. Orang yang memiliki
niat dan tindakan luhur untuk berbagi dengan sesama dan berharap pahala
dari Allah. Adapun si penerima zakat di antaranya adalah mereka yang Fakir,
yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
pokok hidup. Mereka yang Miskin, yang memiliki harta namun tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.


Secara teoritis, kemiskinan bisa dipahami sebagai gambaran kekurangan
materi, yang biasanya mencakup kebutuhan pangan sehari-hari, sandang,
perumahan, dan pelayanan kesehatan. Kemiskinan dalam arti ini dipahami
sebagai situasi kelangkaan barang-barang dan pelayanan dasar.


Gambaran tentang kebutuhan sosial, termasuk keterkucilan sosial,
ketergantungan, dan ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat.
Hal ini termasuk pendidikan dan informasi. Keterkucilan sosial biasanya
dibedakan dari kemiskinan, karena hal ini mencakup masalah-masalah politik
dan moral, dan tidak dibatasi pada bidang ekonomi.


Gambaran tentang kurangnya penghasilan dan kekayaan yang memadai. Makna
"memadai" di sini sangat berbeda-beda melintasi bagian-bagian politik dan
ekonomi di seluruh dunia.


Entah gambaran seperti apa yang tepat untuk melukiskan kemiskinan yang
sedang melanda masyarakat kita. Gambaran-gambaran di atas boleh jadi telah
cukup akurat, tapi melihat fakta yang ada, mungkin kata nekat perlu pula
ditambahkan, termasuk nekat untuk mati demi tiga lembar sepuluh ribuan.


Saya percaya, sebagian besar yang datang ke rumah keluarga H Syaichon
adalah orang-orang yang berniat mulia, berniat mencari sedekah untuk
menyambung hidup, menyenangkan orang rumah untuk beli makanan atau membeli
pakaian bekas.


Saya juga percaya, Pak Syaichon tulus membagikan sebagian kekayaannya untuk
para fakir miskin. Yang jadi soal, kenapakah ia membagi sendiri zakatnya
itu kepada ribuan orang.


Mungkin benar pendapat Pengamat sosial, Prof DR M Ali Haidar MA, yang
menilai musibah yang mengenaskan itu menunjukkan ketidakpercayaan orang
yang berzakat kepada institusi yang menangani zakat.

"Ketidakpercayaan itu mendorong orang yang berzakat langsung membagikan
sendiri zakatnya," kata guru besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu.


Maklumlah, salah satu "penyakit gawat" yang terus mewabah pada bangsa ini
adalah hilangnya kepercayaan orang per orang dan kepercayaan orang terhadap
institusi, termasuk institusi negara.


Orang belajar pada pengalaman, itulah jawabnya. Pada hari-hari yang kita
lewati, kian susah kita menemukan tauladan luhur dari para pemimpin bangsa
ini. Yang kita dapati adalah contoh buruk bagaimana para tokoh yang
mewakili kita justru bertindak deksura. Bagaimana para pemimpin yang
mengatur kehidupan bernegara kita hidup berfoya-foya. Dan, mereka yang kita
percaya sebagai imam hidup kita justru membawa kehidupan makin suram.


Menyakitkan memang. Apalagi ini terjadi saat umat Islam sedang menjalani
ibadah puasa. Apalagi ini terjadi di kala para tokoh sedang riuh rendah
menawarkan janji-janji manis dalam rangka menghadapi pemilu 2009. Apalagi
ini terjadi di bumi gemah ripah... loh kok begini. Hmmm, saya benar-benar
tak mampu meneruskan ujar-ujar Jawa yang hebat mengenai negeri kita yang
makmur jibar-jibur itu. Terlalu getir buat saya mendapati fakta
sauadara-saudara kita tewas hanya untuk uang setara dengan harga tiga
bungkus rokok.


(Embedded image moved to file: pic31322.jpg)








(Embedded image moved to file: pic30333.jpg)














(Embedded image moved to file: pic17673.jpg)








(Embedded image moved to file: pic04664.jpg)








(Embedded image moved to file: pic15141.jpg)








(Embedded image moved to file: pic07711.jpg)


(Embedded image moved to file: pic28253.jpg)


(Embedded image moved to file: pic06868.jpg)











(Embedded image moved to file: pic25547.gif)











(Embedded image moved to file: pic27644.jpg)








(Embedded image moved to file: pic32662.jpg)








(Embedded image moved to file: pic32757.jpg)











(Embedded image moved to file: pic20037.jpg)














(Embedded image moved to file: pic12859.jpg)











(Embedded image moved to file: pic08723.jpg)





(Embedded image moved to file: pic09741.jpg)








(Embedded image moved to file: pic27529.jpg)





KOMPAS/RADITYA HELABUMI


Apa yang hendak kita katakan pada peristiwa yang menewaskan 21 perempuan
dhuafa dalam pembagian zakat di Pasuruan baru-baru ini?

Insya Allah, mereka, para perempuan itu, akan masuk surga. Mereka yang
menyalakan tungku pemasak makanan buat keluarga. Di saat harga-harga
kebutuhan pokok semakin meningkat, di saat penghasilan keluarga terasa
tidak memadai, di saat harga bahan bakar semakin terasa menyesakkan, tungku
itu tetap harus menyala. Tetap harus ada yang dimasak di dalam tungku itu
buat keluarga. Salahkah mereka bila rela menyabung hidup buat menjemput
haknya yang tidak seberapa?

Insya Allah, mereka akan tetap masuk surga karena tidak tahu dan tak pernah
ada yang memberi tahu bahwa langkahnya keliru. Hak mereka, yang tersimpan
dalam kekayaan tetangganya, memang harus dijemput. Tetapi, semestinya,
bukan mereka sendiri yang menjemput bagian dari hak itu. Dhuafa juga
manusia. Tak hanya punya rasa dan punya hati, tapi juga punya martabat yang
harus dijaga. Martabat yang tak boleh direndahkan meskipun hanya meletakkan
tangan di bawah. Apalagi, di dalam Islam, tangan di bawah bukan sekadar
persoalan 'hanya'. Tangan di bawah adalah hal hina yang sedapat mungkin
dihindari.

Itu yang menjelaskan mengapa Nabi Muhammad SAW segera bertindak saat
seorang pemuda datang minta uluran tangan. Nabi tak membiarkan ada umatnya
menengadahkan tangan. Satu-satunya barang milik pemuda itu dilelang agar
bisa membeli kapak jelek yang diperbaiki sendiri oleh tangan Nabi. Kapak
yang akhirnya menyelamatkan sang pemuda dari kehinaan menempatkan tangannya
di bawah. Nabi juga mengingatkan bahwa yang termasuk manusia termulia
adalah orang-orang susah yang tak mempertontonkan kesusahannya. Kemuliaan
serupa tentu dimiliki orang-orang berada yang tak gampang mempertontonkan
keberadaannya, meskipun melalui jalan kebaikan seperti atas nama membagikan
zakat.

Maka, 'kebaikan-kebaikan' itu pun menelan korban. Tahun silam, sebuah pagar
roboh menewaskan sejumlah orang saat para dhuafa berdesakan 'mengambil'
zakat di Pasar Minggu, Jakarta. Kabar itu tersebar ke seluruh negeri ini
dan menjadi keprihatinan bersama. Tapi, sekarang, peristiwa serupa pun
terulang di Pasuruan.

Ternyata, di antara kita sangat banyak tokoh yang kaya, yang peduli pada
sesama, dan tampak menguasai ilmu agama, namun merasa lega jika melihat
para dhuafa berbondong datang ke rumahnya untuk mengambil sedikit rezeki
darinya. Berapa banyak lagi peristiwa serupa yang akan terjadi di masa
mendatang.

Sikap itu begitu berbeda dengan yang ditunjukkan Khalifah Umar.
Malam-malam, ia datangi diam-diam rumah para warga yang kesusahan. Ia
kirimkan langsung apa yang menjadi hak para dhuafa. Ia jaga martabat mereka
hingga tak perlu menghinakan diri menjadikan tangannya di bawah. Para
dhuafa pun menjaga martabatnya kuat. Misalnya, seorang janda yang hanya
bisa merebus batu untuk menenangkan anaknya yang merintih lapar. Sang janda
itu tak menengadahkan tangan, meskipun keadaannya jauh lebih sulit
dibanding rata-rata dhuafa sekarang. Ia jaga tegak martabat dirinya sebagai
manusia merdeka.

Sekarang, memang masa yang jauh dari Rasulullah dan sahabat. Agamanya
memang tetap sama: Islam. Pilar-pilarnya juga tetap sama, seperti
terumuskan dalam 'rukun-rukunya'. Tetapi, nilai-nilai pemaknaannya telah
menjadi sangat berbeda dibanding semula. Esensi keberagaman untuk
menjunjung tinggi martabat dan kemerdekaan manusia melalui Tauhid tak
banyak lagi dipahami. Tragedi kematian 21 dhuafa ini hanya sebuah dari
banyaknya bukti bahwa secara umum keberagamaan telah kehilangan esensi. Itu
yang menjelaskan mengapa umat ini gagal menjadi 'sebaik-baik umat'.





Oleh: Zaim Uchrowi